Customer Service RSKO Pada Hari Kerja Jam 7.30 sd 16.00 WIB : 0813-1871-8880 (Whatsapp)
News Photo

Heroin, Zat Adiktif yang Memiliki Sejarah Panjang

Penyalahgunaan NAPZA / Narkoba saat ini masih menjadi masalah bangsa. Status darurat narkoba masih belum dicabut oleh Negara.

Narkoba jika dikonsumsi dan disalahgunakan dapat memengaruhi kondisi kejiwaan, pikiran, perasaan, dan perilaku. Tak hanya itu saja, narkoba juga dapat membuat pemakainya adiksi.

Zat adiktif ini ada cukup banyak jenisnya, dan semuanya berbahaya. Jadi masyarakat diharapkan untuk tidak mencoba-coba mengomsumsi narkoba.

Pada akhir abad ke-19, di tahun 1895, Heinrich Dreser yang bekerja untuk perusahaan Bayer, Jerman berhasil memformulasikan morfin dengan acetyl yang hasilnya ia namakan heroin. Nama heroin diambil dari bahasa Jerman yaitu heroisch yang mengandung arti kepahlawanan.

Selama tiga tahun setelah jenis narkotika ini ditemukan, heroin tidak diproduksi untuk komersil. Kemunculan heroin pada tahun 1898 sebagai obat batuk sirup.

Kemudian heroin ini ditujukan untuk mengobati para pecandu morfin yang sudah akut Di Amerika. Peningkatan kasus kecanduan morfin sudah terlihat sejak masuknya zat adiktif tersebut pada akhir abad 19.

Para pakar medis dan kimia kemudian mengkaji masalah ini. Kesimpulannya adalah, diasetilmofin yang terkandung dalam heroin dapat berpotensi menimbulkan efek ketergantungan yang lebih hebat dari morfin.

Mereka menyebutkan bahwa saat heroin masuk ke metabolisme tubuh, zat aktif heroin langsung menyatu ke dalam aliran darah dan masuk ke otak sehingga menyebabkan euphoria.

Efek ketergantungan heroin disebutkan dua hingga empat kali lipat dibandingkan morfin. Ketersediaan heroin di seluruh dunia tidak lepas dari produksi tanaman opium di Segitiga Emas (Thailand, Laos, Myanmar) dan kawasan Sabit Emas (Afganistan, Iran dan Pakistan).

Pada tahun 1960-an bahwa di Indonesia sudah terdapat penyalahgunaan heroin dan kokain. Berdasarkan keterangan Tarmizi Taher dalam jurnalnya ia menyebutkan, bahwa memasuki era orde baru, atau tahun 1960-an, generasi muda Indonesia sudah banyak yang menyalahgunakan narkotika.

Tarmizi Taher tidak menyebutkan secara spesifik jenis narkotika apa yang digunakan, akan tetapi besar kemungkinan jenis heroin sudah masuk, di samping ekstasi dan juga kokain.

Satu dasawarsa kemudian di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan penyalahgunaan narkotika dengan cara injeksi sudah dikenal.

Dari data Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, pada tahun 1971, pengguna narkotika dengan suntikan atau IDU (Injecting Drug User), diperkirakan mencapai 200 hingga 300 IDU dengan total 2.000-3.0000 kasus ketergantungan obat.

Pemerintah sudah sangat khawatir dengan maraknya penyalahgunaan obat / narkoba di Indonesia, karena dinilai akan dapat mengancam stabilitas ekonomi dan keamanan negara.

Drugs Dependence Unit (DDU) pun didirikan atas prakarsa Gubenur DKI Jakarta, Ali Sadikin di tahun 1972. DDU Saat ini telah menjadi Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) yang berlokasi di Jalan Lapangan Tembak no.75, Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur.

Demi mencegah adiksi makin meluas, maka Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol Yang Mengubahnya.

Selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika. Dalam Undang-Undang ini, disebutkan beberapa jenis yang termasuk dalam narkotika, diantaranya heroin.

Dalam perkembangannya, generasi muda Indonesia yang menggunakan narkotika jenis heroin tapi dengan kualitas rendah, atau yang disebut dengan putaw.

Putaw adalah sebutan untuk heroin, karena warnanya yang putih kecoklatan dan cara penggunaan putau bisa dihisap, dan disuntikan.

Adapun sebutan lain untuk heroin yaitu Pt, diacetil, morfin, smack, dope, horse. Heroin merupakan jenis opioda semi sintetis. Berupa serbuk putih butiran dan cairan. Rasanya pahit yang memiliki sifat menghilangkan rasa nyeri.

Heroin dibuat dari morfin yaitu bahan yang berasal dari tanaman candu. Heroin murni berupa serbuk putih, tetapi yang beredar di pasar gelap warnanya kecoklatan sebab dicampur dengan bahan-bahan lain. Oleh karena itu kadar kemurnian heroin di pasar gelap berbeda-beda.

Segera setelah memakai heroin pupil mata menyempit, timbul rasa mual, muntah, tenggorokan kering, tidak mampu berkosentrasi dan apatis (acuh tak acuh). Heroin sangat adiktif, sangat menyebabkan ketergantungan, baik secara fisik maupun psikologis.

Terjadi toleransi (penyesuaian tubuh) terhadap heroin sehingga dosis heroin yang dipakai meningkat agar diperoleh pengaruh yang sama pada tubuh. Pemakaian heroin jangka panjang menyebabkan berbagai ganguan kesehatan pada badan, antara lain berat badan turun dratis, kurang gizi dan sembelit.

Juga menyebabkan haid tidak teratur, impotensi, mengantuk berlebihan dan acuh tak acuh, jika pemakaian zat tiba-tiba dihentikan/dosisnya dikurangi, akan menjadigejala putus zat atau sakaw, ditunjukkan dengan kejang otot, tremor (anggota tubuh bergetar tanpa terkendali), diare, panik, hidung dan mata berair, menggigil, berkeringat, gelisah, tidak bisa tidur dan rasa nyeri pada seluruh tubuh.

Bahaya lain pemakaian heroin adalah apabila terjadi overdosis (dosis berlebihan) dapat tidak sadarkan diri dan meninggal karena terhentinya pernafasan.

 

Sumber:

<!--[if !supportLists]-->1.       <!--[endif]-->bnn.go.id/sekilas-tentang-heroin/

<!--[if !supportLists]-->2.       <!--[endif]-->dedihumas.bnn.go.id/

Edotorial : Instalasi Promosi Kesehatan dan Pemasaran RSKO Jakarta

Laporan : Unit Kerja Sub. Bag. Hukormas RSKO Jakarta

 

 

Share This News