Hoax atau Hoaks merupakan sebutan dari berita palsu atau
berita bohong. Kata hoax menjadi amat popular di dunia maya. Penyebutan hoax
pun akhirnya menular ke dunia nyata dikalangan masyarakat.
Berita bohong saat ini banyak sekali beredar baik itu di
sosial media maupun media komunikasi (WhatsApps dan Telegram). Untuk itu
masyarakat harus mewaspadainya karena berita hoax bagaikan bahaya laten.
Laporan Reuters Institute menunjukkan 89% responden
memanfaatkan media dalam jaringan (daring) yang didominasi media sosial untuk
mendapatkan informasi terkini.
Berdasarkan data yang diungkap oleh Kementerian Komunikasi
dan Informatika (Kemenkominfo) terdapat 1.819 konten hoaks terkait virus corona
Covid-19 yang telah ditemukan dalam kurun waktu 7 bulan sejak 23 Januari 2020
hingga 30 Juli 2021.
Sosial media menjadi ladang yang subur bagi penyebar hoax.
Adapun hoaks terkait corona paling banyak berada di Facebook, sebanyak 3.523
konten, kemudian di twitter sebanyak 554 konten.
Sedangkan di Youtube dan Instagram menyangkut hoax terkait
corona masing-masing sebanyak 49 dan 35. Bila diperhatikan konten hoax lebih
banyak dibuat dalam bentuk konten teks.
<!--[if gte vml 1]><!--[endif]-->
Dari 4.163 sebaran konten hoax, 3.938 konten hoaks corona
sedang dalam tahap ditindaklanjuti (take down) dan 767 dalam proses penegakkan
hukum. Rinciannya, 3.340 konten di Facebook, 515 konten di Twitter, serta 48
dan 35 konten masing-masing di Instagram dan Youtube.
Penyebaran hoax terjadi karena masih banyak warga yang
enggan untuk klarifikasi atau mencari tau kebenaran dari sebuah berita yang dia
terima.
Perusahan asing yang lebih dikenal sebagai anti virus Kaspersky
mengungkap dua dari sepuluh orang di Asia Tenggara membagikan berita di media
sosial tanpa melakukan verifikasi.
Dimana sebanyak 28% generasi Z (1997-2009) melakukannya dan
menjadi yang terbanyak dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Kapersky.
Diurutan kedua sebanyak 21 % generasi X (1965 s/d 1980).
Kemudian di urutan ketiga sebanyak 19 % generasi Baby Boomers (1946 s/d 1964).
Sedangkan, hanya 16% generasi milenial (1981-1996) yang
berbagi berita tanpa melakukan verifikasi. Berarti generasi milenial lebih
selektif dalam menfilter berita bohong.
Dikutip dari databoks.katadata.co.id (1/2/2021), menurut
psikolog Mind What Matter, Beverly Leow, individu yang tergerak untuk berbagi
informasi tanpa mengecek kebenarannya merupakan salah satu bentuk perlindungan
diri.
Sebab ia sebagai netizen terdorong untuk menunjukkan diri
sebagai individu yang mengikuti perkembangan informasi dan berpengetahuan luas.
Katadata Insight Center (KIC) bekerja sama dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan survei literasi
digital. Penelitian menjaring total 1.670 responden dari 34 provinsi di
Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, alasan menyebarkan
Hoax dari hasil survey Katadata Insight Center (KIC), yang dikeluarkan pada November
2020 didapatkan sebanyak 11,2?ri total responden pernah menyebarkan hoaks.
Melebihi dari jumlah itu, 68,4% responden merasa hanya
meneruskan berita yang tersebar, tanpa mencari tahu kebenarannya. Selain itu, lebih
dari setengah sekitar 56,1% responden juga merasa tak mengetahui bahwa berita
yang disebarkan tak benar.
Bahkan alasan penyebaran hoaks lainnya dari 13,9% responden mengaku karena tak mengetahui sumber
berita yang jelas dan 9,1 % hanya
sekadar iseng. Bayangkan hanya sekedar iseng ! mungkin bingung mau melakukan
apa.
Adapun sebanyak 2,7% responden memang menyebarkan berita
bohong untuk mempengaruhi orang lain. Sungguh miris bukan ?
Sumber : kominfo.go.id & databoks.katadata.co.id
---
Editorial : Instalasi Promosi Kesehatan dan Pemasaran
Laporan Unit Kerja Sub. Bag Hukormas
Share This News