Customer Service RSKO Pada Hari Kerja Jam 7.30 sd 16.00 WIB : 0813-1871-8880 (Whatsapp)
News Photo

Hoax Covid-19 Merajalela, Seperti Apa Faktanya?

Hoax atau Hoaks merupakan sebutan dari berita palsu atau berita bohong. Kata hoax menjadi amat popular di dunia maya. Penyebutan hoax pun akhirnya menular ke dunia nyata dikalangan masyarakat.

Berita bohong saat ini banyak sekali beredar baik itu di sosial media maupun media komunikasi (WhatsApps dan Telegram). Untuk itu masyarakat harus mewaspadainya karena berita hoax bagaikan bahaya laten.

Laporan Reuters Institute menunjukkan 89% responden memanfaatkan media dalam jaringan (daring) yang didominasi media sosial untuk mendapatkan informasi terkini.

Berdasarkan data yang diungkap oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terdapat 1.819 konten hoaks terkait virus corona Covid-19 yang telah ditemukan dalam kurun waktu 7 bulan sejak 23 Januari 2020 hingga 30 Juli 2021.  

Sosial media menjadi ladang yang subur bagi penyebar hoax. Adapun hoaks terkait corona paling banyak berada di Facebook, sebanyak 3.523 konten, kemudian di twitter sebanyak 554 konten.

Sedangkan di Youtube dan Instagram menyangkut hoax terkait corona masing-masing sebanyak 49 dan 35. Bila diperhatikan konten hoax lebih banyak dibuat dalam bentuk konten teks.

<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->

Dari 4.163 sebaran konten hoax, 3.938 konten hoaks corona sedang dalam tahap ditindaklanjuti (take down) dan 767 dalam proses penegakkan hukum. Rinciannya, 3.340 konten di Facebook, 515 konten di Twitter, serta 48 dan 35 konten masing-masing di Instagram dan Youtube.

Penyebaran hoax terjadi karena masih banyak warga yang enggan untuk klarifikasi atau mencari tau kebenaran dari sebuah berita yang dia terima.

Perusahan asing yang lebih dikenal sebagai anti virus Kaspersky mengungkap dua dari sepuluh orang di Asia Tenggara membagikan berita di media sosial tanpa melakukan verifikasi.

Dimana sebanyak 28% generasi Z (1997-2009) melakukannya dan menjadi yang terbanyak dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Kapersky.

Diurutan kedua sebanyak 21 % generasi X (1965 s/d 1980). Kemudian di urutan ketiga sebanyak 19 % generasi Baby Boomers (1946 s/d 1964).

Sedangkan, hanya 16% generasi milenial (1981-1996) yang berbagi berita tanpa melakukan verifikasi. Berarti generasi milenial lebih selektif dalam menfilter berita bohong.

Dikutip dari databoks.katadata.co.id (1/2/2021), menurut psikolog Mind What Matter, Beverly Leow, individu yang tergerak untuk berbagi informasi tanpa mengecek kebenarannya merupakan salah satu bentuk perlindungan diri.

Sebab ia sebagai netizen terdorong untuk menunjukkan diri sebagai individu yang mengikuti perkembangan informasi dan berpengetahuan luas.

Katadata Insight Center (KIC) bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan survei literasi digital. Penelitian menjaring total 1.670 responden dari 34 provinsi di Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, alasan menyebarkan Hoax dari hasil survey Katadata Insight Center (KIC), yang dikeluarkan pada November 2020 didapatkan sebanyak 11,2?ri total responden pernah menyebarkan hoaks.

Melebihi dari jumlah itu, 68,4% responden merasa hanya meneruskan berita yang tersebar, tanpa mencari tahu kebenarannya. Selain itu, lebih dari setengah sekitar 56,1% responden juga merasa tak mengetahui bahwa berita yang disebarkan tak benar.

Bahkan alasan penyebaran hoaks lainnya dari 13,9%  responden mengaku karena tak mengetahui sumber berita yang jelas dan 9,1 %  hanya sekadar iseng. Bayangkan hanya sekedar iseng ! mungkin bingung mau melakukan apa.

Adapun sebanyak 2,7% responden memang menyebarkan berita bohong untuk mempengaruhi orang lain. Sungguh miris bukan ?

Sumber : kominfo.go.id & databoks.katadata.co.id

---

Editorial : Instalasi Promosi Kesehatan dan Pemasaran

Laporan Unit Kerja Sub. Bag Hukormas

 

Share This News